hello
aku @peacereva punya fanfict buat fanadicky , coba bayangin tokoh
'yefani' disini adalah kak aelke mariska yaaa... tapi terserah sih .
sebebas imajinasi kalian aja. happy reading^^
Surat
– surat itu aku simpan dengan sederhana di kaleng bekas biscuit.
Amplopnya berwarna merah jambu, lembut dan terasa halus bila aku
menyentuhnya. Semua itu adalah surat tanpa perangko yang tak
tersampaikan. Surat-surat yang tidak pernah aku kirimkan kepada
pemiliknya. Mungkin suatu saat dia akan membacanya, tapi ketika aku
sudah pergi dari dunia ini. Entah kapan.
Malam
ini aku telah membuat satu surat baru untuknya yang aku yakini akan
membuat kaleng biscuitku semakin
penuh dan susah ditutup. Tapi aku suka ketika mendengar decitan kaleng
berkarat itu. Suaranya seolah memberitahuku agar berhenti menulis surat.
Apakah kaleng berkarat itu juga mengerti apa yang aku rasakan? Meskipun
ia berkarat namun ia beruntung telah menemukan pasangan sejatinya yaitu
tutup kaleng yang sama-sama berbentuk bundar dan ukuran yang serasi .
Pasangan yang sudah Tuhan takdirkan untuknya karena sebagus , semewah
atau secemerlang apapun tutup kaleng yang lain tak akan bisa menjadi
pasangannya karena ukuran yang tak sesuai.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan kembali membaca surat yang baru saja aku selesaikan.
Dear you…
Si
pemilik dangerous smile… Hari ini aku kembali melihatmu setelah dua
bulan kamu pergi meninggalkan rumah. Aku kembali melihat senyuman itu di
bibirmu… Senyuman yang selalu kau sunggingkan di manapun dan kepada
siapapun… Hari ini kamu terlihat lebih kurus.. Aku mengerti , mungkin
kamu terlalu kelelahan karena pekerjaan barumu
itu…
hw
Setiap
kali aku melihatmu di layar kaca , sungguh aku masih belum percaya
bahwa itu adalah kamu… Dicky Prasetya, kakakku . kamu yang dulu selalu
bermain bersamaku , sekarang telah menjelma menjadi seorang lelaki yang
digilai para remaja wanita. Kamu menari dan menyanyi bersama boyband-mu
yang diberi nama ‘smash’. Aku senang itu terjadi, karena dengan begitu
bukan aku saja yang menjadi korban ‘dangerous smile’-mu.
Kamu
yang paling bersinar diantara yang lain.. kamu bintang diantara bintang
–bintang itu.. Yang paling indah.. Yang paling berbahaya..
Aku
sangat senang dapat melihatmu di rumah ini.. Teman-temanku bilang bahwa
aku beruntung bisa mempunyai kakak seperti kamu.. Namun aku tidak
merasa demikian. Aku justru merasa terjebak dalam keadaan yang
seharusnya tak aku tempati. Seharusnya aku tidak ada disini, di keluarga
ini . Aku terkadang berharap terlahir di keluarga lain agar aku tak
usah menjadi adikmu. Mungkin menjadi wanita lain atau menjadi fans-mu..
Semuanya akan menjadi lebih wajar daripada ini.
Kehidupan yang lain… Another me . Another you..
Ku
lipat dan ku masukan surat itu ke dalam amplop berwarna biru muda.
Cantik sekali. Namun tetap saja berakhir di kaleng biscuit di laci meja
belajarku.
***
Aku
menghampiri Kak Dicky di balkon. Angin berhembus cukup kencang sore
ini. Kini aku berdiri disampingnya dan menatap lurus ke depan seperti
apa yang ia lakukan, menikmati pemandangan gunung di sore hari.
“Indah ya.” Suara itu kambali terdengar di telingaku.
“Hmm.” Gumamku.
Aku bisa merasakan angin menerpa mukaku dan
menggoyangkan rambut ku yang tidak terlalu panjang. Sesekali mataku
memincing menahan debu yang tertiup angin.
“Inilah
alasan mengapa aku meminta ayah untuk membangun rumah menghadap ke
gunung dan juga alasan mengapa aku meminta jendela persegi panjang di
kamarku tanpa disertai tirai. ” ungkap Kak Dicky. Ku lirik dia sekilas.
Poninya terusap ke belakang. Benar-benar cool…
“Kamu tau kenapa aku meminta jendela tanpa tirai?” lanjutnya.
“Kenapa?”
“Jendela itu seperti sebuah bingkai dan gunung ini adalah lukisannya. Lukisan yang telah Tuhan berikan gratis untuk kita.”
Aku
tersenyum kecil. Kak Dicky memang mempunyai selera seni yang berbeda
daripada yang lain. Ke-khassannya itu yang selalu berhasil membuatku
rindu.
Kami
masih berdiri tanpa memandang satu sama lain. Kami terlalu sibuk
menikmati pemandangan di hadapan
kami. Sinar senja itu memenuhi langit . Oranye , aku lebih suka
menyebutnya oranye daripada jingga. Karena jingga terlalu menyakitkan
untuk aku sebut. Jingga , kata itu seperti kata perpisahan antara siang
dan malam. Perpisahan yang memberikan kenangan buruk. Tapi langit itu
berwarna oranye , teduh , damai , ceria.
“Terkadang aku merasa takut tidak pernah melihat pemandangan ini lagi.” Ucap Kak Dicky.
“Aku juga takut tidak bisa kembali pulang ke rumah ini.” Sambungnya.
Pulang
ke rumah sepertinya menjadi hal yang paling kakak rindukan untuk
akhir-akhir ini. Karir yang menanjak memaksanya untuk jauh dari rumah.
Dua bulan kemarin ia dan boybandnya disibukkan oleh promosi di luar kota
dan luar negeri. Dia memang punya nasib yang baik. Dia terkenal ,
tampan ,digilai para remaja. Nama dan fotonya pun terpampang
dimana-mana.
“Kamu takut Yefa ?” Tanya Kak Dicky tiba-tiba.
Mataku mengerjap kaget. “Apa yang kamu takutkan untuk saat ini ?” Tanyanya lagi.
Hening.
Begitu hening sampai yang terdengar hanyalah suara angin. Kedinginan
itu menjalar dari kepalaku. Menyebar begitu cepat ke seluruh tubuh
ringkihku. Kurapatkan jaket rajut berwarna coklat tua yang aku kenakan.
Jaket yang berlengan panjang sampai tanganku tertutup lengan jaket ini,
yang terlihat hanyalah ujung-ujung jariku.
“Saat
ini yang aku takutkan adalah kakak pergi dan melupakan aku. Terkadang
aku merasa jauh dari kakak.” Ujarku , berusaha tak terdengar aneh.
Aku
bisa merasakan pundakku diputar dengan lembut. Kini aku berhadapan
dengan Kak Dicky. Kepalaku sedikit mendongkak melihat wajahnya. Mata
besar itu masih berwarna hitam bening. Wajah teduh itu kembali berada di
hadapanku. Ia tersenyum , membuatku merasa aman dan damai. Dua
tangannya menyentuh pipiku yang dingin. Sentuhan itu menyebarkan
kehangatan yang pelan-pelan menjalar menuju pipiku. Tangan hangatnya
yang halus masih seperti dulu. Benar-benar lembut tak berkeringat dan
tentu saja wangi.
Pelan-pelan
aku melihatnya mulai berbicara, “Kamu adikku dan selamanya akan
begitu.” Kata-kata itu membuatku tenang karena dia mengucapkan dengan
cara yang sangat aku suka. Namun apabila dipikir lebih lanjut ,
sebenarnya aku benci kata-kata itu. Kenapa aku harus menjadi adiknya?
Hanya adik?
Pipiku
mulai terlepas dari sentuhan itu. Aku melihatnya berlutut di depanku
dan berkata, “Yefanni Chan, maukah kamu menjadi adikku untuk selamanya?”
Tanya Kak Dicky layaknya seorang lelaki yang sedang mengutarakan
perasaan.
Aku
tersenyum melihatnya seperti itu. Benar-benar manis seperti permen. Aku
bisa merasakan mata sipitku semakin mengecil ketika aku tersenyum. Aku
juga melihat Kak Dicky tersenyum ,sepertinya dia senang melihat mataku
yang semakin mengecil. Aku mengangguk dan mengangkat badan Kak Dicky
agar ia segera berdiri.
“Tak perlu takut lagi ya , Yefa.” Ujarnya seraya merangkulku.
Aku
menghirup udara dengan keras seolah itu akan memenuhi paru-paruku dalam
sekali helaan. Aku berusaha sekuat tenagaku namun yang aku rasa
hanyalah nyeri, sesak. Akan tetapi rangkulan itu benar-benar
mempengaruhi pikiranku. Sesesak apapun namun aku tetap merasa nyaman dan
hangat berada di dalam rangkulan Kak Dicky. Oksigen itu masuk ke rongga
hidungku dengan sendirinya. Aku tidak mau membuatnya khawatir. Aku
merasa terlalu banyak membuatnya kerepotan. Jadi untuk kali ini biarkan
aku menanggungnya sendirian. Aku pasti bisa mengatasi sesak ini sendiri.
***
Ada yang berbeda dari makam malam kali ini. Ayah dan ibu pergi menghadiri undangan pernikahan rekan kerjanya. Jadi
hanyalah ada aku , Kak Dicky dan seorang wanita asing di meja makan.
“Kakak cantik ini namanya Cessy .” ujar Kak Dicky.
Aku melihat wajah Kak Cessy sekilas. Dia memang cantik.
“Cessy,
ini adikku namanya Yefanni.” Ujar Kak Dicky kepada Kak Cessy. Kak
Cessy melihatku dan tersenyum. Dia kemudian memandang Kak Dicky dan aku
secara bergantian lalu kembali tersenyum lebih lebar sampai aku bisa
melihat deretan behel di giginya.
“Kalian… ”Ucapnya sambil menggeleng tak percaya.
“Yefanni matanya sipit sekali sementara Dicky matanya besar. Kenapa bisa begitu ya?” Tanyanya sambil memiringkan kepala.
Aku
tersentak. Memang sepantasnya Kak Cessy menanyakan hal itu, justru aneh
apabila ia tidak menyadari perbedaan yang mencolok antara aku dan Kak
Dicky. Aku melihat Kak Dicky yang ada di sampingku seakan-akan
berdiskusi melalui tatapan mata tentang siapa yang akan menjelaskan
perkara ini. Bisa ku dengar Kak Dicky menghembuskan nafasnya dan mulai
berbicara pada Kak Cessy yang duduk berhadapan dengan kami. “Sebenarnya
kita bukan saudara
kandung.”
Aku melihat mata Kak Cessy terbelalak dan mulutnya sedikit menganga. “Oh.. ehm eee.. maaf ya?” Ucapnya.
“Oke. Wajar kamu menanyakan itu. Semua orang yang melihat kami pasti menanyakan itu.” Ujar Kak Dicky.
Aku
sadar , aku dan Kak Dicky memang sama sekali tidak mirip, mungkin
kesamaan diantara kami hanyalah kulit kami yang putih dan rambut yang
lurus.
“Makan malam kali ini aku memasak sushi saja. Maaf kalau ini tidak sesuai dengan selera Kak Cessy. ” Ucapku.
“Salah Kak Dicky juga tidak memberitahuku kalau kita akan kedatangan tamu.”
“Ah..
sebenarnya tidak usah repot-repot begini. Maaf ya Dicky , Yefanni. ”
Ucap Kak Cessy dengan mengangkat kedua tangannya dan menganggukan
kepala berkali-kali.
Makan
malampun dimulai. Aku bisa melihat Kak Cessy kesulitan menggunakan
sumpit. Aku tersenyum melihatnya. Padahal menyumpit sushi itu mudah
menurutku , bentuknya tidak terlalu kecil maupun terlalu licin. Tapi
mengapa Kak Cessy begitu kesulitan? Apa jangan –jangan ia hanya ingin
menarik perhatian Kak Dicky saja?
“Ah, sulit sekali rupanya.” Desahnya seraya mengetuk-ngetuk
sumpit pada piring. Sementara itu Kak Dicky menjulurkan tangan kanannya yang telah menyumpit sushi.
“Aaaa..
buka mulutmu.” Perintah Kak Dicky kepada Kak Cessy. Mulut Kak Cessy
terbuka dan melahap suapan sushi dari Kak Dicky. Aku tertegun
melihatnya, Kak Cessy tersenyum dengan mulutnya yang dipenuhi sushi.
Sementara itu Kak Dicky tertawa dengan renyah. Aku meneruskan
menyumpit sushi-ku dengan agak canggung. Memasukkannya ke mulut dengan
buru-buru. Aku menyumpit lagi tapi tak berhasil karena aku terlalu
gugup.
30 menit berlalu namun aku masih belum bisa mengetahui status
wanita yang Kak Dicky ajak makan malam . Kak Cessy itu siapanya Kak
Dicky? Temannya? Se-special itu kah Kak Cessy sampai Kak Dicky rela
repot-repot mengajaknya makan malam bersama.
“Ternyata penyakit ini mengantarkan aku
kepada jodohku.” Ucap Kak Dicky lalu menyesap teh hijaunya.
“Kalau dulu aku tidak sakit gigi , mungkin aku tidak akan bertemu dengan kamu, Cessy..”
Oh jadi mereka… Semuanya terasa semakin jelas untukku, rangkaian pertanyaan yang bercabang di otakku kini telah terjawab.
“Jadi..
dulu kita bertemu di saat mengantri di dokter gigi. Pada awalnya hanya
percakapan biasa namun akhirnya kita bertukar nomor ponsel. Hahaha ,
Lucu sekali ya.” Ucap Kak Dicky lagi.
“Kalau aku tidak memasang behel , mungkin aku juga tidak akan mengenalmu.” Timpal Kak Cessy.
Aku
mengerti, jadi mereka bertemu di dokter gigi , sebelum Kak Dicky
terkenal . Saling bercakap satu sama lain dan akhirnya… saling jatuh
cinta?
Aku
berusaha bertingkah senormal mungkin. Menenggak teh dengan normal ,
tersenyum kepada mereka berdua seakan-akan aku merestui hubungan mereka.
“Aku ke kamar ya? Kalian silahkan saja disini atau ehmm kemana pun kalian mau.” Ucapku, pamit. Mereka mengangguk.
“Tunggu!”
Aku
menoleh dan melihat Kak Dicky menjulurkan secangkir teh untukku. “Minum
ini, malam ini sangat dingin. Semoga secangkir teh bisa
menghangatkanmu.”
“Tapi aku sudah meminum satu cangkir tadi.”
“Untuk di kamarmu.” Aku menghembuskan nafas pelan, Kak Dicky memang perhatian walaupun kini di depannya ada kekasihnya.
“Terimalah..” Rengeknya. Baiklah , aku menerima teh itu, “Terimakasih , kak.”
Aku jadi berfikir, apa mungkin Kak Dicky takut aku mati kedinginan?
Aku
berpaling dan segera memasuki kamarku. Aku menutup pintu dan bersandar
di belakangnya. Tubuhku pelan-pelan merosot, terduduk di lantai yang
dingin dan berkilau ini. Aku merasakan nafasku bergetar . Aku menunduk ,
menggenggam cangkir teh dengan dua
tanganku. Menatap asap yang mengepul diatasnya. Dengan agak bergetar
aku menyesap teh itu. Kehangatan mulai menjalari tanganku namun
kedinginan lantai ini terasa lebih kuat. Aku benci pada diriku yang
tetap mencintai Kak Dicky. Kenapa aku harus sakit hati melihatnya dengan
wanita lain? Bukankah itu selayaknya terjadi? Ada yang salah pada
diriku. Aku meletakkan cangkir itu di lantai. Kuputuskan untuk menekuk
lututku dan memeluknya erat-erat. Yang aku pahami adalah ternyata aku
masih takut kehilangan Kak Dicky…
***
Tapi
waktuku bukanlah malam itu. Sekarang aku masih hidup dan hendak kembali
menulis surat tak tersampaikan. Di temani suasana malam yang hening dan
dentingan jam yang dapat aku dengar.
Dear you…
Aku
sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersamamu.. Kamu juga mampu
melindungiku dari segala kemungkinan yang terjadi… kamu selamatkan aku
dari kedinginan yang pelan-pelan menusuk tulang rusukku.. Menyerang
tubuhku yang lemah… Dari wajahmu aku bisa melihat ketakutan itu..
kekhawatiran yang biasa aku lihat bila kedinginan itu kembali muncul
menyerangku… sesak dan dingin adalah kengerian yang tubuhku harus
perangi. Apa kamu takut aku pergi begitu cepat..?
Namun kadang aku berfikir bahwa orang yang paling melindungiku justru adalah orang yang membuatku begitu sakit…
Kak Cessy… Dia wanita yang sangat beruntung… Aku yakin penggemarmu juga akan mengatakan hal yang sama.. Dia memang beruntung…
Suatu
saat kamu akan menikahinya… ya.. Memang itulah yang harus kamu
lakukan.. menikah dengan wanita yang kuat dan sehat… Agar anakmu juga
sama sepertinya..
Aku
semakin merasa bahwa waktu untuk kamu membaca surat-surat ini semakin
dekat.. Setidaknya itulah yang hatiku katakan padaku… Sebelum aku
kehilangan waktu dan kesempatan , maka sekarang aku akan mengungkapkan
bahwa aku mencintaimu.. Terserah kamu mau menerjemahkan cinta yang
seperti apa.. cinta sebagai saudara atau apa saja… Tapi kurasa perasaan
ini adalah perasaan cinta antara sepasang kekasih…
Sekali lagi terima kasih untuk semuanya… Terima kasih kak..
***
Hari
ini Kak Dicky konser di salah satu mall di kota kami. Aku ingin sekali
bisa pergi kesana . Aku ingin melihatnya tampil di panggung secara
langsung dan bukan
hanya lewat layar kaca.
Aku
melangkahkan kaki di dalam mall itu. Mataku menyapu sekitar dan
kutemukan panggung di tengah-tengah mall. Itu pasti panggung untuk
boyband-nya Kak Dicky. Langsung saja kulangkahkan kaki mendekati
panggung tersebut. Masih sepi, tapi aku sengaja diam disini agar bisa
menonton paling depan.
Lama
kelamaan penonton berdatangan. Dan disaat penonton sudah semakin banyak
, boyband smash-pun tampil. Sulit ku percaya apa yang sedang aku
saksikan. 7 orang pemuda tampan bersuara merdu tengah menari di hadapan
kami , begitu dekat. Aku dapat mendengar suara jeritan para remaja yang
cukup membuatku sakit telinga. Keadaan semakin parah ketika ada
personil yang mendekatkan dirinya ke arah penonton. Badanku terdesak ,
terdorong , terhimpit, sakit.. sakit sekali.. penonton itu berusaha
agar bisa meraih tangan idolanya. Sementara aku merasakan sakitnya
berada di keramaian seperti ini. Aku merasakan rambut coklatku basah
oleh keringat dingin. Kucoba menarik nafas namun yang kudapat hanyalah
kesesakkan… sakit… aku tak tahu wajahku seperti apa sekarang.. Apakah
menyeramkan seperti mayat hidup?
Ku
ikuti arus yang menyeretku , kubiarkan arus itu membawa badanku entah
ke kiri atau ke kanan. Pandanganku kabur sampai kurasakan orang di balik
pagar besi menarik tubuhku dari keramaian. Menyelamatkan aku dari semua
himpitan. Orang itu mungkin
security.
Aku
digendongnya dan ia berjalan meniggalkan keramaian panggung entah
kemana. Namun telingaku masih dapat mendengar lagu-lagu boyband Kak
Dicky. Mereka tetap bernyanyi. Dan dengan mata yang sedikit terbuka aku
melihat Kak Dicky sekilas. Apakah dia juga melihatku..? Namun yang
kurasa security itu berjalan semakin cepat hingga tibalah aku di sebuah
ruangan. Aku dibaringkan di sebuah sofa yang panjang. Aku dengar
orang–orang berteriak “Oksigen! Oksigen!”
Dengan lemas aku melihat langit-langit ruangan ini yang berwarna putih gading. Tangan-tanganku masih bergetar , kakiku
terasa dingin dan kesemutan. Tiba-tiba kudengar gemuruh seseorang yang menghampiriku dengan terburu-buru.
“Yefa, kamu kenapa sayang?” ujarnya, ketakutan.
“Kak Dicky,”ucapku disertai senyum. “Sakit, kak.”
“Kenapa kamu kesini ? Kakak bisa mengajakmu ke backstage kalau
kamu bilang terlebih dulu. Tidak usah ikut berdesakan seperti yang
lain.” Ujarnya , dari nadanya aku bisa mengetahui bahwa ia khawatir.
“Aku ingin diperlakukan seperti fans kakak yang lain. Bukan
dengan perlakuan istimewa. ” Jawabku.
“Tapi kamu itu berbeda Yefa! Ahhh…. ” Ia memalingkan wajahnya ke arah keramaian dan berteriak
“Oksigen ! tolong! Oksigen!!!”
“Kak..”
Ia menoleh “Apa?”
“Aku ingin kakak tersenyum.”
Matanya terbelalak , “Keadaan seperti ini kakak tidak bisa tersenyum , Yefa!”
“Aku mohon kak.. Aku ingin liat kakak tersenyum. Sebelum waktuku tiba.”
“Jangan berbicara seperti itu!”
“Kak..”
“Baiklah..”
Detik
itu juga aku melihat Kak Dicky memutar bola matanya seolah menahan air
mata. Bibirnya mulai tersenyum . kupandangi wajah itu inchi demi inchi
tanpa terlewat. Aku memandangnya lekat-lekat seolah tak akan melihatnya
untuk waktu yang amat lama. Aku takut… Aku takut pergi dan melupakan
senyuman itu.
“Terimakasih. Kak… di laci meja ada kaleng biscuit, kakak boleh melihat
isinya. Tapi ini rahasia diantara kita berdua saja ya? Jangan beritahu orang tua kita.”
Ia
hanya mengangguk. Aku mendengar suara teriakan bahwa ambulan sudah ada
di depan mall. Dengan cepat Kak Dicky mengendongku. Sepanjang jalan aku
dapat mendengar teriakan-teriakan para remaja. Mungkin mereka iri
melihat idolanya menggendong seorang gadis. Mereka tidak tahu aku ini
hanya adiknya.
Aku
dibaringkan di kasur ambulan yang
terasa keras. Selang oksigen itu mulai memasuki lubang hidungku. Kubuka
mata dan melihat Kak Dicky masih setia disampingku. Ia sesekali
mengusap dahiku. Mobil mulai melaju , aku merasakan ketenangan dan
kedamaian. Sesak dan dingin mulai menguap dari tubuhku. Kupikir aku
tidak akan merasakan semua kesakitan itu lagi. Saat itu juga kurasakan
badanku terasa ringan . Aku bagaikan melayang meniggalkan tubuhku yang
ringkih. Mata sipit itu kini terpejam untuk selamanya…
***
Dear you…
Aku tidak pernah menyalahkan pilihan mama. Ia memilih
papa-mu mungkin karena papa-mu tampan dan baik hati.. Aku juga merasa
mereka memang cocok…
Aku
juga tidak pernah menyalahkan kenapa pernikahan itu harus terjadi…
pernikahan antara papamu dan mamaku . Aku menerima itu semua…
Namun
aku yakin di kehidupan yang lain akan ada aku yang lain dan kamu yang
lain.. kita bukan lagi adik kakak. Ah iya, kamu sudah membaca semua
surat di kaleng itu kan? Bagaimana ? Menurutmu lucu? Apakah kamu tertawa
ketika membacanya ? Aku senang kini surat-surat itu telah
tersampaikan kepada pemiliknya. Tetaplah menjadi bintang yang paling
bersinar ya kak? karena kini akupun menjadi bintang disana… di langit
bersama bintang yang lain…
Kutunggu kehadiranmu disini , kak.
Bandung 13.32
25-06-2012
#fanadicky
#fanadickybandung #bandung #dickyprasetyo #dickyprasetya #dicky #cerpen
#smash #fanfiction #smashblast #cerita #peacereva #ceritapendek #sad
#love #story #boyband #bisma #karisma #yefaniChan
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Jejakmu!